Konflik Fisik Antar Anarkis


[Mengapa Terkadang Dialog 
Menjadi Tidak Penting!]
Reuben Augusto
aku gak mau baca, nanti jadi tahu banyak malah berkelahi
(seorang partisan Needle n Bitch - Insitut A)

Secara pribadi, aku percaya bahwa tindakan punya nilai lebih ketimbang perkataan. Aku juga percaya bahwa tidak semua masalah yang terjadi di antar individu anarkis mesti menjalani fase untuk didialogkan. Terkadang kita mesti saling melontarkan tinju untuk belajar sekaligus saling mengenal terlalu jauh. Dalam beberapa titik, kita tak bisa lagi berpura-pura dengan memutasikan konfrontasi fisik menjadi bentuk-bentuk dialogis. Kita mesti melampaui serta meninggalkan di belakang pemaksaan-pemaksaan yang tidak lagi cocok dalam suatu kondisi dan situasi dan mencoba menemukan bentuk yang lain.

Dalam kapitalisme lanjut seperti saat ini, setiap orang sejatinya sedang tercerabut dan terasing dari setiap yang ada di sekitarnya bahkan juga terasing terhadap dirinya sendiri. Sehingga kita tidak bisa ikutan latah menggeneralisir bahwa dalam semua bentuk dialog langsung antar individu tidaklah alienatif. Kita perlu melihat lebih jauh dan mendalam, bentuk-bentuk dialogis seperti apa yang tidak alienatif.

Sudut pandang banyak anarkis yang enggan melihat konflik fisik sebagai salah satu solusi bagiku sungguh sangat moralis. Sudut pandang ini tentu saja di dasari pada pola pikir yang melihat bahwa konflik fisik adalah sesuatu yang merusak, barbar serta hanya lebih tepat diaplikasikan melawan musuh. Namun seberapa tepat pandangan-pandangan ini?

Yang pertama, para anarkis yang melihat konflik fisik antar individu anarkis sebagai sesuatu yang merusak seharusnya mendapatkan tinju keras di hidungnya. Pandangan yang menilai bahwa tindakan tersebut “tidak cukup baik” untuk sebuah hubungan sesama anarkis yang seharusnya baik-baik saja dan sebisa mungkin bebas dari benturan fisik dan konfrontasi terbuka yang lain adalah sebuah kejijikan. Pemikiran ini sungguh picik karena dengan demikian bertendensi untuk memekanisasi sebuah bentuk relasi yang dinamis, penuh gejolak serta tentu saja mengalami titik nadir dan kulminasi.

Dalam bentuk masyarakat hari ini yang berhasil membuat semua menjadi pasif, para anarkis tanpa sadar masih sering menduplikasi hal tersebut. Kita mencoba tampil dengan dandanan titik netral dan sikap kompromis yang pasif sehingga akhirnya dialog dianggap sebagai satu-satunya cara untuk saling mengenal. Ini sentralisme yang juga merupakan satu dari sekian akar otoritarianisme hidup hari ini.

Secara pribadi, saya melihat pemahaman ini berbasiskan pada ketidaksadaran secara radikal bahwa bentrokan fisik tidaklah mungkin dihindari atau dimutasikan. Bentrokan fisik adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pertumbuhakan secara kualitas dari sisi emosional seseorang. Setiap individu membutuhkan rasa sakit secara fisik untuk bisa belajar lebih banyak dan memiliki pengalaman unik yang akan berguna untuk proses di kemudian saat. Seperti waktu kita mesti melewati rasa sakit ketika jatuh saat belajar berjalan. Bukankah rasa sakit dari kulit melepuh yang mengajari setiap orang bahwa menyentuh api yang sedang menyala dapat berakibat luka?

Dengan menghindari serta menyangkal bahwa kita membutuhkan bentrokan fisik, secara sengaja kita telah melakukan mutilasi satu bagian penting dalam karakter psikologis kita. Proses penyangkalan itu pada akhirnya membuat kita melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengan mencari mediasi atau spectacle lain yang sesempurna apapun akan tetap menyisakan ruang hampa yang menuntut untuk terus di isi. Kecacatan mental seperti ini yang kemudian membuat banyak orang akan mencari sudut untuk mengalihkan kebutuhan tersebut dengan menggunakan medium-medium tertentu seperti memilih menonton pertandingan tinju, sabung ayam, kompetisi bela diri, film aksi, horor yang yang menampilkan kekerasan fisik dan banyak contoh lain yang bisa kalian tambahkan dengan mengamati kondisi sekitar. Sungguh merupakan contoh dari kehidupan yang menyedihkan.

Anggapan kedua yang melihat bahwa ini tindakan yang barbar. Sudut pandang ini tentu saja melihat bahwa konfrontasi fisik yang terjadi antara dua orang yang memiliki kedekatan secara emosional dan fisik merupakan sesuatu yang bukan merupakan karakter sosial yang layak. Namun hal ini menjadi ironis semenjak para anarkis juga seharusnya melakukan penolakan terhadap nilai dan pola relasi sosial bahkan lebih jauh menolak seluruh totalitas bangunan masyarakat hari ini, ternyata melakukan kesalahan yang sama dengan mengusung moralistik yang sudah barang tentu otoriter.

Banyak anarkis yang selalu terlalu sibuk memikirkan prasyarat tertentu yang sudah mesti dipenuhi lebih dahulu sebelum memasuki tahap bentrokan fisik. Namun di saat yang bersamaan menolak spontanitas yang terjadi jika itu berbentuk perkelahian yang tidak diduga. Para anarkis merumuskan sebuah parameter tunggal yang kemudian mesti dianggap dan diterima sebagai nilai dari seluruh anarkis. Lalu menegasikan nilai lain yang dianggap bertentangan.

Sebagai seorang individualis, aku memilih tetap melakukan dosa sekalipun pendetanya adalah anarkis.

Anggapan berikut yang terasa konyol soal cara pandang melihat bentrokan fisik adalah pandangan bahwa hal tersebut hanya lebih tepat jika ditujukan kepada musuh. Banyak para anarkis yang sepakat terhadap penghancuran properti namun menolak jika dua orang anarkis tiba-tiba saling pukul. Adanya sebuah pra syarat minimal yang mesti dipenuhi sebelum melangkah ke tahapan konfrontasi terbuka secara fisik, bagiku terdengar sangat Marxis.

Banyak dari para anarkis lupa bahwa melerai pertengkaran adalah bentuk dari mediasi dan elemen dari representasi yang adalah satu dari sekian tiang penyokong kehidupan saat ini.

Ketika kita menganjurkan seorang kawan untuk menenangkan diri dan meredam emosinya, tanpa sadar membuat seorang anarkis sedang melakukan pasifikasi. Membuat seseorang menjadi diam dan akhirnya pasif dan berwatak kompromis. Meski memang berpikir secara lebih jernih juga penting untuk dilakukan seorang anarkis dalam perang melawan totalitarianisme hari ini. Namun memadamkan sebuah letupan emosional dengan basis pertimbangan yang dibangun atas dasar nilai-nilai moral sungguh menjijikkan. Padahal seberapa rusak efek dari bentrokan fisik yang terjadi antar dua orang anarkis, kita akan punya lebih banyak hal untuk dilihat dan dievaluasi.

Menganggap bahwa bentrokan fisik hanya tepat melawan musuh juga sangat banal. Bukankah musuh yang paling sulit bagi setiap orang adalah dirinya sendiri? Lalu, atas dasar apakah seorang anarkis tak bisa mencurigai seorang anarkis lain sebagai musuh?

Adalah sebuah tindakan yang moralis menurutku jika kemudian atas nama kesamaan ide, kita kemudian menyangkal bahwa dalam beberapa hal -entah kecil atau besar- kita akan tetap menghadapi kontradiksi yang pada akhirnya mesti didorong dengan meluapkannya dalam bentuk adu fisik. Perkelahian antar anarkis akibat perbedaan pendapat mungkin akan terlihat tidak elegan bagi beberapa orang. Namun sejak kapan seorang anarkis mesti peduli dengan persoalan seperti elegan dan tampak baik?

Bayangan tentang masa depan yang aman dan tenteram setelah tiadanya negara, kapitalisme dan hirarki telah nyata menggiring para anarkis ke dalam arah pendangkalan analisis serta menjadi “logis” seperti kehidupan normal yang dalam segala bentuknya mestilah di tolak. Sungguh tidak ada satupun bangunan atau ciri dari masyarakat hari ini yang patut dipertahankan atas alasan apapun. Destruksi secara revolusioner tentu saja pada ujungnya akan berupa abolisi total terhadap segala bentuk relasi sosial dan sifat yang dikandungnya serta bentuk yang merupakan perwujudannya. Tidak semata-mata terjebak pada tuntutan “programatik minimal” untuk menghapuskan negara dan kapitalisme. Upaya untuk melampauinya mestilah telah dimulai dari saat ini, bukan untuk masa depan namun untuk hidup hari ini yang jauh lebih baik.

by : Reuben Augusto