[Mengapa Terkadang Dialog
Menjadi Tidak Penting!]
Menjadi Tidak Penting!]
aku gak mau baca, nanti jadi tahu
banyak malah berkelahi
(seorang partisan Needle n Bitch -
Insitut A)
Secara pribadi, aku percaya bahwa
tindakan punya nilai lebih ketimbang perkataan. Aku juga percaya bahwa tidak
semua masalah yang terjadi di antar individu anarkis mesti menjalani fase untuk
didialogkan. Terkadang kita mesti saling melontarkan tinju untuk belajar
sekaligus saling mengenal terlalu jauh. Dalam beberapa titik, kita tak bisa
lagi berpura-pura dengan memutasikan konfrontasi fisik menjadi bentuk-bentuk
dialogis. Kita mesti melampaui serta meninggalkan di belakang
pemaksaan-pemaksaan yang tidak lagi cocok dalam suatu kondisi dan situasi dan
mencoba menemukan bentuk yang lain.
Dalam kapitalisme lanjut seperti saat
ini, setiap orang sejatinya sedang tercerabut dan terasing dari setiap yang ada
di sekitarnya bahkan juga terasing terhadap dirinya sendiri. Sehingga kita
tidak bisa ikutan latah menggeneralisir bahwa dalam semua bentuk dialog
langsung antar individu tidaklah alienatif. Kita perlu melihat lebih jauh dan
mendalam, bentuk-bentuk dialogis seperti apa yang tidak alienatif.
Sudut pandang banyak anarkis yang
enggan melihat konflik fisik sebagai salah satu solusi bagiku sungguh sangat
moralis. Sudut pandang ini tentu saja di dasari pada pola pikir yang melihat
bahwa konflik fisik adalah sesuatu yang merusak, barbar serta hanya lebih tepat
diaplikasikan melawan musuh. Namun seberapa tepat pandangan-pandangan ini?
Yang pertama, para anarkis yang melihat
konflik fisik antar individu anarkis sebagai sesuatu yang merusak seharusnya
mendapatkan tinju keras di hidungnya. Pandangan yang menilai bahwa tindakan
tersebut “tidak cukup baik” untuk sebuah hubungan sesama anarkis yang
seharusnya baik-baik saja dan sebisa mungkin bebas dari benturan fisik dan
konfrontasi terbuka yang lain adalah sebuah kejijikan. Pemikiran ini sungguh
picik karena dengan demikian bertendensi untuk memekanisasi sebuah bentuk
relasi yang dinamis, penuh gejolak serta tentu saja mengalami titik nadir dan
kulminasi.
Dalam bentuk masyarakat hari ini yang
berhasil membuat semua menjadi pasif, para anarkis tanpa sadar masih sering
menduplikasi hal tersebut. Kita mencoba tampil dengan dandanan titik netral dan
sikap kompromis yang pasif sehingga akhirnya dialog dianggap sebagai
satu-satunya cara untuk saling mengenal. Ini sentralisme yang juga merupakan
satu dari sekian akar otoritarianisme hidup hari ini.
Secara pribadi, saya melihat pemahaman
ini berbasiskan pada ketidaksadaran secara radikal bahwa bentrokan fisik
tidaklah mungkin dihindari atau dimutasikan. Bentrokan fisik adalah bagian yang
tidak terpisahkan dalam proses pertumbuhakan secara kualitas dari sisi
emosional seseorang. Setiap individu membutuhkan rasa sakit secara fisik untuk
bisa belajar lebih banyak dan memiliki pengalaman unik yang akan berguna untuk
proses di kemudian saat. Seperti waktu kita mesti melewati rasa sakit ketika
jatuh saat belajar berjalan. Bukankah rasa sakit dari kulit melepuh yang
mengajari setiap orang bahwa menyentuh api yang sedang menyala dapat berakibat
luka?
Dengan menghindari serta menyangkal
bahwa kita membutuhkan bentrokan fisik, secara sengaja kita telah melakukan
mutilasi satu bagian penting dalam karakter psikologis kita. Proses
penyangkalan itu pada akhirnya membuat kita melakukan penipuan terhadap diri
sendiri dengan mencari mediasi atau spectacle lain yang sesempurna apapun akan
tetap menyisakan ruang hampa yang menuntut untuk terus di isi. Kecacatan mental
seperti ini yang kemudian membuat banyak orang akan mencari sudut untuk
mengalihkan kebutuhan tersebut dengan menggunakan medium-medium tertentu
seperti memilih menonton pertandingan tinju, sabung ayam, kompetisi bela diri,
film aksi, horor yang yang menampilkan kekerasan fisik dan banyak contoh lain
yang bisa kalian tambahkan dengan mengamati kondisi sekitar. Sungguh merupakan
contoh dari kehidupan yang menyedihkan.
Anggapan kedua yang melihat bahwa ini
tindakan yang barbar. Sudut pandang ini tentu saja melihat bahwa konfrontasi
fisik yang terjadi antara dua orang yang memiliki kedekatan secara emosional
dan fisik merupakan sesuatu yang bukan merupakan karakter sosial yang layak.
Namun hal ini menjadi ironis semenjak para anarkis juga seharusnya melakukan
penolakan terhadap nilai dan pola relasi sosial bahkan lebih jauh menolak
seluruh totalitas bangunan masyarakat hari ini, ternyata melakukan kesalahan
yang sama dengan mengusung moralistik yang sudah barang tentu otoriter.
Banyak anarkis yang selalu terlalu
sibuk memikirkan prasyarat tertentu yang sudah mesti dipenuhi lebih dahulu
sebelum memasuki tahap bentrokan fisik. Namun di saat yang bersamaan menolak
spontanitas yang terjadi jika itu berbentuk perkelahian yang tidak diduga. Para
anarkis merumuskan sebuah parameter tunggal yang kemudian mesti dianggap dan
diterima sebagai nilai dari seluruh anarkis. Lalu menegasikan nilai lain yang
dianggap bertentangan.
Sebagai seorang individualis, aku
memilih tetap melakukan dosa sekalipun pendetanya adalah anarkis.
Anggapan berikut yang terasa konyol
soal cara pandang melihat bentrokan fisik adalah pandangan bahwa hal tersebut
hanya lebih tepat jika ditujukan kepada musuh. Banyak para anarkis yang sepakat
terhadap penghancuran properti namun menolak jika dua orang anarkis tiba-tiba
saling pukul. Adanya sebuah pra syarat minimal yang mesti dipenuhi sebelum
melangkah ke tahapan konfrontasi terbuka secara fisik, bagiku terdengar sangat
Marxis.
Banyak dari para anarkis lupa bahwa
melerai pertengkaran adalah bentuk dari mediasi dan elemen dari representasi
yang adalah satu dari sekian tiang penyokong kehidupan saat ini.
Ketika kita menganjurkan seorang kawan
untuk menenangkan diri dan meredam emosinya, tanpa sadar membuat seorang
anarkis sedang melakukan pasifikasi. Membuat seseorang menjadi diam dan
akhirnya pasif dan berwatak kompromis. Meski memang berpikir secara lebih
jernih juga penting untuk dilakukan seorang anarkis dalam perang melawan
totalitarianisme hari ini. Namun memadamkan sebuah letupan emosional dengan
basis pertimbangan yang dibangun atas dasar nilai-nilai moral sungguh
menjijikkan. Padahal seberapa rusak efek dari bentrokan fisik yang terjadi
antar dua orang anarkis, kita akan punya lebih banyak hal untuk dilihat dan
dievaluasi.
Menganggap bahwa bentrokan fisik hanya
tepat melawan musuh juga sangat banal. Bukankah musuh yang paling sulit bagi
setiap orang adalah dirinya sendiri? Lalu, atas dasar apakah seorang anarkis
tak bisa mencurigai seorang anarkis lain sebagai musuh?
Adalah sebuah tindakan yang moralis
menurutku jika kemudian atas nama kesamaan ide, kita kemudian menyangkal bahwa
dalam beberapa hal -entah kecil atau besar- kita akan tetap menghadapi
kontradiksi yang pada akhirnya mesti didorong dengan meluapkannya dalam bentuk
adu fisik. Perkelahian antar anarkis akibat perbedaan pendapat mungkin akan
terlihat tidak elegan bagi beberapa orang. Namun sejak kapan seorang anarkis
mesti peduli dengan persoalan seperti elegan dan tampak baik?
Bayangan tentang masa depan yang aman
dan tenteram setelah tiadanya negara, kapitalisme dan hirarki telah nyata
menggiring para anarkis ke dalam arah pendangkalan analisis serta menjadi
“logis” seperti kehidupan normal yang dalam segala bentuknya mestilah di tolak.
Sungguh tidak ada satupun bangunan atau ciri dari masyarakat hari ini yang
patut dipertahankan atas alasan apapun. Destruksi secara revolusioner tentu
saja pada ujungnya akan berupa abolisi total terhadap segala bentuk relasi
sosial dan sifat yang dikandungnya serta bentuk yang merupakan perwujudannya.
Tidak semata-mata terjebak pada tuntutan “programatik minimal” untuk
menghapuskan negara dan kapitalisme. Upaya untuk melampauinya mestilah telah
dimulai dari saat ini, bukan untuk masa depan namun untuk hidup hari ini yang
jauh lebih baik.
by : Reuben Augusto